PANGANDARAN JAWA BARAT – Program makan siang gratis atau yang kini dikenal dengan Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat sorotan dari media asing. Program yang akan diterapkan untuk mengatasi kekurangan gizi anak Indonesia ini memicu kekhawatiran tentang potensi hambatan pada keuangan negara.
Hal ini diulas dalam artikel berjudul ‘Indonesia taps Japan, India, China expertise for free school meals as Prabowo battles cost concerns’ yang dirilis oleh media berbasis Hong Kong, South China Morning Post (SCMP).
MBG merupakan program ambisius Prabowo dan juga bagian dari salah satu janji penting kampanye pemilu Prabowo, yang akan mengambil alih jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada bulan Oktober mendatang.
Dikutip dari SCMP, Jumat (12/07/2024), dalam proses perwujudannya, tim Prabowo belajar dari sejumlah negara mulai dari Jepang, China dan India, yang telah menerapkan dan mengeluarkan dana secara bijaksana untuk program-program serupa.
Baca juga:
Tony Rosyid: Gagal Dipukul, Anies Dirangkul
|
Program MBG ini disebut-sebut menyasar 83 juta anak-anak kurang mampu dan diperkirakan menelan biaya Rp 71 triliun atau US$ 4, 35 miliar untuk tahun 2025. Di Indonesia sendiri, kebanyakan sekolah tidak memberikan makanan gratis kepada siswanya.
Tim Prabowo memperkirakan, inisiatif ini akan menelan biaya hingga Rp 450 triliun jika diterapkan sepenuhnya pada tahun 2029 dan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2, 6%.
“Untuk mencapai hal ini, Prabowo dikatakan sedang mempertimbangkan langkah-langkah termasuk memperketat penegakan pajak dan memotong anggaran untuk proyek relokasi ibu kota Jokowi (IKN) senilai US$ 32 miliar (Rp 516, 8 triliun) "tulis SCMP".
PRABOWO: APBN Mampu Biayai program Makan Siang Gratis.
Program ini telah dikritik oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) karena berpotensi meningkatkan tingkat defisit anggaran negara. Tim Prabowo telah berjanji untuk memenuhi rasio utang dengan defisit APBN dibatasi sebesar 3?ri produk domestik bruto (PDB), dari yang saat ini 2, 3 %.
Analis data dan keuangan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Muhammad Rafi Bakri, mengatakan program ini membutuhkan anggaran yang sangat besar. Kekhawatiran biaya memang beralasan karena Indonesia mempunyai pengeluaran yang besar termasuk relokasi ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Berguru pada ke 3 Negara,
Prabowo dan perwakilan timnya tercatat sudah beberapa kali melakukan perjalanan ke Jepang secara bergantian untuk mempelajari program makan siang gratis bagi siswa sekolah.
Di Jepang, data pemerintah menunjukkan hampir 99% sekolah dasar menyediakan makan siang pada tahun 2023. Makanan tersebut tidak selalu gratis, dengan beberapa siswa membayar rata-rata US$ 300 atau Rp 4, 85 juta per tahun. Tetapi banyak juga pemerintah kota yang sepenuhnya mensubsidi biaya ini.
Selain Jepang, pemerintah juga menyoroti program serupa di India. Pada bulan April lalu, wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka mengatakan kepada kantor berita Antara bahwa tim Indonesia dikirim ke India untuk memahami program makan siang gratis di negara tersebut.
Gibran mengatakan, Duta Besar India untuk Indonesia, Sandeep Chakravorty, memberitahunya bahwa program India menelan biaya 11 sen AS per anak per hari karena efisiensi logistik. Sebagai perbandingan, tim Prabowo memperkirakan biaya sebesar 94 sen AS per anak per hari untuk program di Indonesia.
Sementara itu, Kepala Ekonom di Permata Bank Josua Pardede mengatakan, program makan siang gratis di China dan India disesuaikan dengan kebutuhan dan faktor lokal. Di India, pendanaan untuk program penyediaan makan siang setiap hari kepada lebih dari 100 juta siswa dibagi antara pemerintah pusat dan daerah.
Pertama kali diluncurkan pada tahun 1995, program India menelan biaya sekitar US$ 2, 6 miliar pada tahun 2023. Dalam hal ini, pemerintah federal dan pemerintah negara bagian masing-masing membayar 60?n 40%.
"Kebijakan makanan gratis Tiongkok dimulai pada tahun 2011 dan tidak bersifat universal, kebijakan ini sangat tepat sasaran, hanya ditujukan kepada masyarakat miskin di daerah pedesaan terpencil "kata Josua".
Sedangkan menurut Rafi Bakri, India dan Tiongkok dapat menjalankan program mereka dengan sukses karena mereka menanam banyak pangan untuk konsumsi dalam negeri. Di Indonesia, produksi pangan biasanya berfluktuasi dari tahun ke tahun dan kekurangan tersebut harus dipenuhi melalui impor.
Indonesia berada di peringkat ke-84 dari 113 negara dalam hal ketersediaan pangan, jauh di belakang India di peringkat ke-42 dan Tiongkok di peringkat ke-2, menurut Indeks Ketahanan Pangan Global tahun 2022.
"Kekhawatiran mengenai kemampuan Indonesia untuk mendanai program 11ini memang beralasan karena posisi keuangan Indonesia yang lemah dan ketergantungan ekonomi yang besar terhadap komoditas, yang harganya biasanya berfluktuasi "kata Josua Pardede". (***)